Minggu, 21 September 2014

PPh Ps.25 vs PPh Final (PP 46 Tahun 2013)

Ternyata tidak hanya Wajib Pajak, diantara petugas pajak pun sering terjadi pertentangan antara PPh Pasal 25 dengan PPh Final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP Nomor 46 Tahun 2013). Beberapa yang dapat Saya rangkum berdasarkan pengalaman di tempat bekerja adalah sebagai berikut:
1.       PPh Final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 menggantikan PPh Pasal 25?
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013:
Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013:
Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dari kedua pasal tersebut jelas bahwa PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 BUKAN menggantikan PPh Pasal 25. Bahkan dimungkinkan Wajib Pajak membayar 2 (dua) jenis PPh sekaligus yaitu PPh Pasal 25 dan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
Apabila Wajib Pajak HANYA menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh bersifat final, maka PPh Pasal 25 menjadi NIHIL.

2.       Apakah PPh Pasal 25 Nihil, harus dilaporkan setiap bulan?
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 80/PMK.03/2010 menyebutkan antara lain Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 disebutkan antara lain Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 di Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran online dan SSP-nya mendapat validasi NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PP 46 Tahun 2013 maupun PMK-107/PMK.011/2013 tidak mengatur pelaporan PPh Pasal 25, sehingga berdasarkan hal tersebut PPh Pasal 25 Nihil WAJIB harus dilaporkan setiap bulan.

3.   Apakah PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 yang sudah disetorkan harus dilaporkan setiap bulan?
Pasal 10 PMK-107/PMK.011/2013:
(1)    Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2)    Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3)    Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.

Pasal 16 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013:
Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.

Bila kita perhatikan ada pertentangan antara Pasal 10 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (2) PMK-107/PMK.011/2013. Disatu sisi disebutkan bila penyetoran tersebut telah mendapat validasi NTPN maka dianggap telah menyampaikan SPT Masa (Pasal 10 ayat (3)). Disisi lain disebutkan pelaporan SPT Masa wajib dilakukan mulai masa pajak Januari 2014 (Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2)).
Apabila kita perhatikan urutan pasal, maka sejak Januari 2014 Wajib Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.

Sabtu, 20 September 2014

HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BAGI WANITA KAWIN

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan NPWP. Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan:
  1. tidak hidup terpisah; atau
  2. tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis,
hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.

Wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.


Mendapatkan NPWP
Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis dengan mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran Wajib Pajak dengan melengkapi dokumen sebagai berikut:
  1. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami;
  2. fotokopi Kartu Keluarga; dan
  3. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.

Formulir Pendaftaran dan kelengkapan dokumen dapat disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak atau dapat juga disampaikan melalui pos atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Untuk melihat wilayah kerja KPP dan KP2KP silakan mengklik tautan http://www.pajak.go.id/direktori-kpp.

Selain mengajukan permohonan secara tertulis, Wajib Pajak juga dapat mengisi Formulir Pendaftaran secara elektronik melalui Aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.idWajib Pajak yang telah menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak melalui Aplikasi e-Registration harus mengirimkan dokumen yang disyaratkan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Pengiriman dokumen yang disyaratkan dapat dilakukan dengan cara mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen melalui Aplikasi e-Registration atau mengirimkan dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani. Apabila dokumen yang disyaratkan telah diterima secara lengkap. KPP menerbitkan Bukti Penerimaan Surat secara elektronik. Apabila dokumen yang disyaratkan belum diterima KPP dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah penyampaian permohonan pendaftaran secara elektronik, permohonan tersebut dianggap tidak diajukan.

Perhitungan PPh


Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  5. Peraturan Direkur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah dengan PER-38/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengukuhan Pengusaha Kena Paak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak
Sumber:
Surat Direktur Peraturan Perpajakan II Nomor S-1018/PJ.03/2014 tentang Hak dan Kewajiban Perpajakan Wanita Kawin