Ternyata
tidak hanya Wajib Pajak, diantara petugas pajak pun sering terjadi pertentangan
antara PPh Pasal 25 dengan PPh Final atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP Nomor 46
Tahun 2013). Beberapa yang dapat Saya rangkum berdasarkan pengalaman di tempat
bekerja adalah sebagai berikut:
1.
PPh Final berdasarkan PP Nomor 46
Tahun 2013 menggantikan PPh Pasal 25?
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
107/PMK.011/2013:
Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
107/PMK.011/2013:
Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut
wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Dari kedua pasal tersebut jelas bahwa PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun
2013 BUKAN menggantikan PPh Pasal 25.
Bahkan dimungkinkan Wajib Pajak membayar 2 (dua) jenis PPh sekaligus yaitu PPh
Pasal 25 dan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
Apabila Wajib Pajak HANYA menerima
atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh bersifat final, maka PPh Pasal 25
menjadi NIHIL.
2.
Apakah PPh Pasal 25 Nihil, harus
dilaporkan setiap bulan?
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Nomor
80/PMK.03/2010 menyebutkan antara lain Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 disebutkan antara lain Wajib Pajak yang melakukan
pembayaran PPh Pasal 25 di Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor
Pos Persepsi dengan sistem pembayaran online
dan SSP-nya mendapat validasi NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25
dianggap telah disampaikan. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil
tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
PP 46 Tahun 2013 maupun PMK-107/PMK.011/2013 tidak mengatur pelaporan
PPh Pasal 25, sehingga berdasarkan hal tersebut PPh Pasal 25 Nihil WAJIB harus dilaporkan setiap bulan.
3. Apakah PPh Final berdasarkan PP 46
Tahun 2013 yang sudah disetorkan harus dilaporkan setiap bulan?
Pasal 10 PMK-107/PMK.011/2013:
(1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak
Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara,
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
(2) Wajib Pajak yang melakukan
pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan
penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara
yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Pasal 16 ayat (2)
PMK-107/PMK.011/2013:
Ketentuan mengenai pelaporan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.
Bila kita perhatikan ada
pertentangan antara Pasal 10 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (2)
PMK-107/PMK.011/2013. Disatu sisi disebutkan bila penyetoran tersebut telah
mendapat validasi NTPN maka dianggap telah menyampaikan SPT Masa (Pasal 10 ayat
(3)). Disisi lain disebutkan pelaporan SPT Masa wajib dilakukan mulai masa
pajak Januari 2014 (Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2)).
Apabila kita perhatikan urutan
pasal, maka sejak Januari 2014 Wajib Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh
Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.